Rabu, 23 Januari 2008

DEMOKRASI OLIGARKHI

Dalam sebuah tulisannya, M Yudhie Haryono menuliskan bahwa demokrasi yang kita banggakan saat ini ternyata paradoks dengan apa yang menjadi cita-cita demokrasi. Demokrasi menurutnya dipandang menghabiskan ongkos yang sangat tinggi (hiqht cost) dan yang paling ironis adalah output dari demokrasi yang sangat tidak demokratis, para pemimpin kita malah berpaling dari urusan kesejahteraan rakyat dan berbalik arah untuk mengabdi kepada segelintir elite yang menamakan dirinya sebagai oligarkhi.

Lontaran dari seorang kaum muda tersebut seakan menyadarkan kepada semua pengiman demokrasi, bahwa ternyata sama saja selama ini sistem demokrasi yang banyak digandrungi oleh banyak khalayak menawarkan racun di dalamnya.

Sampai hari ini, demokrasi menjadi pemenang tunggal dalam sejarah manusia. Terlebih setelah berbulan madu dengan pasangan abadinya, kapitalisme. Sang pemenang semakin digdaya dalam menjalankan sejarah dunia. Francis Fukuyama bahkan sempat berujar, ”Sejarah telah berakhir”. Artinya, ini membuktikan serta mentasbihkan bahwa sejarah manusia telah mendekati kiamat dengan keluranya demokrasi dan kapitalisme sebagai pemenang. Tidak ada lagi kepalan semangat tangan kiri untuk melawan kapitalisme. Tidak ada lagi revolusi, kata Gunawan Muhammad.

Ungkapan Yudhie H terhadap sistem demokrasi liberal semakin meneguhkan serta menelanjangi tubuh demokrasi kita. Tubuh yang penuh penyakit. Kaum Marxis sudah sedari awal mengkritik bahwa demokrasi hanyalah upaya kaum borjuis untuk merebut sumber kapital. Dengan alasan keteratruran dan ketertiban, kaum borjuis memaksakan demokrasi kepada semua kalangan sehingga pada akhirnya memenangkan mereka.

Kemenangan kaum borjuis dalam rekayasa besarnya tersebut sangat dibantu oleh kepemilikan modal. Kitapun, semakin mafhum bahwa demokrasi sangat membutuhkan biaya yang besar. Persoalan ongkos menurut saya sudah menjadi kemenangan demokrasi, karena sejak awalnya demokrasi direkayasa untuk mengeruk modal. Sampai saat ini, kita hanya mampu mengumpat ketika untuk tahapan pemilu saja sudah menghabiskan anggaran negara sebesar 200 triliun (Data Kompas, 24 Januari 2008).

Kemudian yang tampak adalah demokrasi kita sampai saat ini belum berhasil. Menurut, salah seorang teoritisi demokrasi, J. Scumpeter, demokrasi di Indonesia masih berlangsung secara prosedural belum sampai pada demokrasi substansial. Ini terlihat pada kegilaan masyarakat pada pemilu, antusiasme pada calon namun tidak peduli pasca pemilu. Bagi mereka, proses sudah selesai dengan prosedural tersebut. Tidak terlintas dalam benak mereka bahwa setelah pemilu merupakan momentum yang sesungguhnya pelaksanaan demokrasi.

Mitos Demokrasi

Demokrasi dengan predikat pemenang tunggal peradaban akhir-akhir ini diujipentaskan kembali. Yaitu bagaimana hasil dari demokrasi yang telah menelan biaya, kaitannya demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Alur ini mencuat seiring dengan perdebatan mengenai pilihan kesejahteraan atau demokrasi. Artinya, bagaimana tanpa demokrasi bisa sejahtera atau memegang teguh demokrasi tanpa muncul kesejahteraan. Perdebatan tersebut sebenarnya ingin mengugat keberadaan demokrasi. Dan bisa dibilang, demokrasi bisa menjadi terdakwa karena belum terlihat kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam konstitusi kita. Fakta membuktikan tidak ada hubungan yang bersifat berbanding lurus antara demokrasi dengan kesejahteraan. Dan kitapun seharusnya tidak terjebak dalam pemilihan antara demokrasi atau kesejahteraan. Menurut saya, demokrasi adalah sebuah keniscayaan yang harus dikuti oleh peningkatan kesejahteraan rakyat. Sangat rugi jika kita tidak bisa mencapai semuanya. Demokrasi menjadi sejarah yang panjang ketika negeri kita telah melewati zaman otoritarian, di mana kita hanya memperoleh ‘kesejahteraan semu’ dengan pancingan kemapanan ekonomi. Kitapun tidak akan memasukkan totalitarian dalam sejarah bangsa meski menawarkan kesejahteraan.

Free Rider

Menghilangnya kesejahteraan ini karena demokrasi telah ditunggangi oleh penumpang gelap (Free Rider). Para penumpang gelap dengan menumpang dalam gerbong liberalisme memanfaatkan celah demokrasi. Celah yang ada dalam demokrasi yaitu kebebasan. Betapapun prinsip ini sangat luhur, yaitu memberikan ruang yang luas dan bebas bagi siapapun untuk membangun demokrasi. Namun ironisnya, ruang tersebut dimanfaatkan oleh para pemunpang gelap untuk melanggengkan kepantingan kapitalisme.

Kitapun sulit untuk menangkap mereka. Karena bersembunyi dalam partai politik. Tidak berlebihan menurut saya, karena parpol juga sangat membutuhkan mereka dalam proses demokrasi. Kalau sudah demikian akan sangat sulit untuk menyembuhkan demokrasi kita. Berharap kepada para pemimpin kita juga akan percuma saja karena mereka telah sedemikian kentara dalam mengugurkan Negara kita dengan berpaling dari kesejahteraan rakyat dan bersujud pada kapitalisme.

Kalau tidak ada upaya yang serius terhadap demokrasi kita, kiamat awal menjadi hal yang patut kita tunggu sebentar lagi!.

DEMOKRASI OLIGARKHI

Dalam sebuah tulisannya, M Yudhie Haryono menuliskan bahwa demokrasi yang kita banggakan saat ini ternyata paradoks dengan apa yang menjadi cita-cita demokrasi. Demokrasi menurutnya dipandang menghabiskan ongkos yang sangat tinggi (hiqht cost) dan yang paling ironis adalah output dari demokrasi yang sangat tidak demokratis, para pemimpin kita malah berpaling dari urusan kesejahteraan rakyat dan berbalik arah untuk mengabdi kepada segelintir elite yang menamakan dirinya sebagai oligarkhi.

Lontaran dari seorang kaum muda tersebut seakan menyadarkan kepada semua pengiman demokrasi, bahwa ternyata sama saja selama ini sistem demokrasi yang banyak digandrungi oleh banyak khalayak menawarkan racun di dalamnya.

Sampai hari ini, demokrasi menjadi pemenang tunggal dalam sejarah manusia. Terlebih setelah berbulan madu dengan pasangan abadinya, kapitalisme. Sang pemenang semakin digdaya dalam menjalankan sejarah dunia. Francis Fukuyama bahkan sempat berujar, ”Sejarah telah berakhir”. Artinya, ini membuktikan serta mentasbihkan bahwa sejarah manusia telah mendekati kiamat dengan keluranya demokrasi dan kapitalisme sebagai pemenang. Tidak ada lagi kepalan semangat tangan kiri untuk melawan kapitalisme. Tidak ada lagi revolusi, kata Gunawan Muhammad.

Ungkapan Yudhie H terhadap sistem demokrasi liberal semakin meneguhkan serta menelanjangi tubuh demokrasi kita. Tubuh yang penuh penyakit. Kaum Marxis sudah sedari awal mengkritik bahwa demokrasi hanyalah upaya kaum borjuis untuk merebut sumber kapital. Dengan alasan keteratruran dan ketertiban, kaum borjuis memaksakan demokrasi kepada semua kalangan sehingga pada akhirnya memenangkan mereka.

Kemenangan kaum borjuis dalam rekayasa besarnya tersebut sangat dibantu oleh kepemilikan modal. Kitapun, semakin mafhum bahwa demokrasi sangat membutuhkan biaya yang besar. Persoalan ongkos menurut saya sudah menjadi kemenangan demokrasi, karena sejak awalnya demokrasi direkayasa untuk mengeruk modal. Sampai saat ini, kita hanya mampu mengumpat ketika untuk tahapan pemilu saja sudah menghabiskan anggaran negara sebesar 200 triliun (Data Kompas, 24 Januari 2008).

Kemudian yang tampak adalah demokrasi kita sampai saat ini belum berhasil. Menurut, salah seorang teoritisi demokrasi, J. Scumpeter, demokrasi di Indonesia masih berlangsung secara prosedural belum sampai pada demokrasi substansial. Ini terlihat pada kegilaan masyarakat pada pemilu, antusiasme pada calon namun tidak peduli pasca pemilu. Bagi mereka, proses sudah selesai dengan prosedural tersebut. Tidak terlintas dalam benak mereka bahwa setelah pemilu merupakan momentum yang sesungguhnya pelaksanaan demokrasi.

Mitos Demokrasi

Demokrasi dengan predikat pemenang tunggal peradaban akhir-akhir ini diujipentaskan kembali. Yaitu bagaimana hasil dari demokrasi yang telah menelan biaya, kaitannya demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Alur ini mencuat seiring dengan perdebatan mengenai pilihan kesejahteraan atau demokrasi. Artinya, bagaimana tanpa demokrasi bisa sejahtera atau memegang teguh demokrasi tanpa muncul kesejahteraan. Perdebatan tersebut sebenarnya ingin mengugat keberadaan demokrasi. Dan bisa dibilang, demokrasi bisa menjadi terdakwa karena belum terlihat kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam konstitusi kita. Fakta membuktikan tidak ada hubungan yang bersifat berbanding lurus antara demokrasi dengan kesejahteraan. Dan kitapun seharusnya tidak terjebak dalam pemilihan antara demokrasi atau kesejahteraan. Menurut saya, demokrasi adalah sebuah keniscayaan yang harus dikuti oleh peningkatan kesejahteraan rakyat. Sangat rugi jika kita tidak bisa mencapai semuanya. Demokrasi menjadi sejarah yang panjang ketika negeri kita telah melewati zaman otoritarian, di mana kita hanya memperoleh ‘kesejahteraan semu’ dengan pancingan kemapanan ekonomi. Kitapun tidak akan memasukkan totalitarian dalam sejarah bangsa meski menawarkan kesejahteraan.

Free Rider

Menghilangnya kesejahteraan ini karena demokrasi telah ditunggangi oleh penumpang gelap (Free Rider). Para penumpang gelap dengan menumpang dalam gerbong liberalisme memanfaatkan celah demokrasi. Celah yang ada dalam demokrasi yaitu kebebasan. Betapapun prinsip ini sangat luhur, yaitu memberikan ruang yang luas dan bebas bagi siapapun untuk membangun demokrasi. Namun ironisnya, ruang tersebut dimanfaatkan oleh para pemunpang gelap untuk melanggengkan kepantingan kapitalisme.

Kitapun sulit untuk menangkap mereka. Karena bersembunyi dalam partai politik. Tidak berlebihan menurut saya, karena parpol juga sangat membutuhkan mereka dalam proses demokrasi. Kalau sudah demikian akan sangat sulit untuk menyembuhkan demokrasi kita. Berharap kepada para pemimpin kita juga akan percuma saja karena mereka telah sedemikian kentara dalam mengugurkan Negara kita dengan berpaling dari kesejahteraan rakyat dan bersujud pada kapitalisme.

Kalau tidak ada upaya yang serius terhadap demokrasi kita, kiamat awal menjadi hal yang patut kita tunggu sebentar lagi!.

Demokrasi Gagal

setelah sekian lama kita melewati masa sulit, di bawah kungkungan rezim kaku, otoriterian. kita sampai pada abad cerah, abad demokrasi. kedatangannya disambut bak pahlawan yang akan menyelamatkan kehidupan. berbagai penyambutan dilakukan, semakin menebalkan harapan kehidupan yang bermartabat.
Namun seiring fajar demokrasi sekamin menjadi pertanyyan kita bersama, apakah kita akan menemui senja kelabu? atau senja indah. pelaksanaan demokrasi yang telah meninggalkan jejak-jejak yang menyakitkan. pertama, biaya demokrasi yang amat mahal meninggalkan berbagai persoalan, yaitu utang.kita tidak mampu mengelak, biaya demokrasi kita sedikit sumbangan korporasi internasional. kedua, demokrasi meninggalkan anarkisme massa yang tidak terkendali.......atau kita sebut demokrasi amuk. mampukah kita menyelamatkan negeri kita...atau kita bingung menyelamatkan diri kita sendiri?...untuk saat ini cepat ambil bekal untuk segera keluar dari negeri ini.

Selasa, 15 Januari 2008

Bacalah......bacalah.............

Salam hangat......dari suara-suara resah kehidupan
yang memanggil dari arah depan........


Salam sejahtera....well, saudaraku sedunia, apa yang perlu kita lakukan di dunia ini? mungkin jawaban yang akan saya berikan yaitu Membaca. Baca kadang kita pikir sebuah kata kecil hanya untuk anak ingusan, yang baru mengenal tulisan......eits! jangan anggap baca itu adalah suatu pekerjaan yang ingusan. Banyak orang merasa sukses dengan membaca, banyak orang merasa terlena dengan membaca...pokoknya baca is neverending. Betapa sulitnya membudayakan membaca, entah karena masyarakat kita ini bukan lagi budaya baca tapi budaya 'ngaca', yang inginnya mencontoh, copy paste dari cermin orang lain, ga Kreatif gitu...looooch. Itulah yang semakin membuat kita tidak bisa bergerak, gerak untuk membuat karya.....bukan sebuah karya plagiasi ato bunglonisasi....ato sebangsanya. Saya meyakini perintah dalam sebuah agama "bacalah......" itu sangat fundamental dan substansial serta universal...begitu mendalamnya pesan sekaligus sindiran dari alam transesnden bagi kita yang mendengar dan sadar akan hal itu. Ok last but not least....budayakan membaca dan berkarya..........mari berkarya..Nyok!
....

Berharap pada 'The Third Way'

Saat ini dunia tertawa kita hanya ada satu pemenang tunggal, yaitu kapitalisme. tidak akan ada lagi suatu kekuatan yang mampu melawannya, begitu pikir Francis Fukuyama. Sejarah telah berakhir...!!! Fukuyama dengan tegas menyatakan hal tersebut. Kalau demikian hidup ini berarti sudah kiamat, karena segala kehidupan adalah sejarah. The end of history.....barangkali menjadi penanda bagi kita warga dunia untuk mewaspadai sang pemenang tunggal. Sang rivalitas, Sosialisme-Komunisme telah merasakan bagaimana manisnya perjuangan melawan sang pemenang sampai kemudian mereka tergusur dari arena pertandingan. Semua menjadi penonton sedangkan sang pemenang mulai menunjukkan kesombongannya, dengan melakukan ekspansi ke warga dunia. Dalam sejarah ini apakah ada calon penghancur sang pemenang?....kita tak perlu menunggu Satrio Piningit ato menunggu sang sangkakala bernyanyi riang....saudara kita, Bang Antony Giddens menawarkan jalan kemanusiaan, humanisme sebagai jalan ketiga untuk menandingi sang pemenang dan sang rival. Bang Antony bilang, mereka telah kehilangan khittah ideologi, yaitu kemanusiaan. Selamat datang, welcome jalan ketiga...............................